Cody Love Story – It’s More Than Love (14)

cody love story – its more than love – cover
cody love story – its more than love – cover
  • Nama author : Ruri Alifia Ramadhani –> @rurimadanii
  • Main cast : Cody Simpson, Billy Unger, Kylie Jenner, Alli Simpson
  • Title : Cody Simpson Love Story-It’s More Than Love
  • Rating : T
  • Genre : Romance, Action

HAAAI ! HAAAI ! yaampun lama saya nggak ngelanjuuut T.T maafkan keterlambatan author ini kawaaaan~ maafkaaaaan~ ini cerita sungguh bakal tetep aku update terus kok. tapi nggak reguler ngupdatenya. bikin satu part aja udah ngabisin waktu 5 hari dan momen yang pas. jadi stay tuned aja ya buat nunggu next part nya 😉 ohiyaa, terima kasih yg udah ngeapresiasiin cerita ini lewat twitter, fb atau blog ini. terima kasih ya udah mau ngiktuin cerita ini :))
For whoever reads and follows this story, enjoy this 14th part♥

PART XIV

“Co-Billy?” Ucap Lalak ketika mendapati seorang Billy di sampingnya tepat saat ia mendongakkan kepala mencari tahu gerangan yang menepuk-nepuk rambutnya. ‘Jadi, Billy?’ Batinnya sendiri. Jujur, ia bukan tak mengharapkan sosok pemuda itu. Namun, ia lebih menantikan seseorang yang telah menolongnya kemarin. Seseorang yang sampai saat ini masih tak henti berseliweran dalam benaknya.

“Bad guess, eh?” Tanya pemuda itu seakan tahu apa yang kini tengah difikirkan Lalak.

“Sorry. I’m still-”

“Well, this is the stuff, Owl. Cody gave it to me this morning cause.. He said that he can’t be here today.” Tambah Billy memotong kalimat gadis asia di hadapannya seraya meletakkan tas hitam berisi bahan-bahan eksperimen yang Lalak dan Cody beli minggu lalu. Mungkin ini semua membuat gadis yang terduduk lemas di hadapan pemuda itu bingung. Tapi tanpa disadarinya, pemuda ini tahu semua yang terjadi. Bagaimana kejadian rumit hari kemarin, penganiayaan itu, rasa cemas semalam hingga ketidakhadiran Cody hari ini-pun pemuda ini tahu.

Dan seperti yang telah ia lakukan, ia hanya akan berpura-pura tak mengerti dengan selalu menjadi teman terbaik bagi gadis bermanik hitam yang amat disayanginya tersebut.

“Huh? Um, I see..” Sejenak gadis itu termenung. ‘Jadi, dia nggak masuk..’ batinnya lagi kecewa. Seharusnya ia tak mengharapkan Cody. Seharusnya ia tahu bahwa Cody membencinya. Seharusnya ia sadar tuk menjauhi Cody. Seharusnya…

“And he told me to accompany you today, Lak!” Ujar Lucie riang setelah menyembul dari balik badan Billy. Kalimat yang sontak menyadarkan Lalak kembali dari imajinya. Sejenak kerutan samar terbentuk di dahi bersihnya. Sebentar.. Apa? Menemaninya? Lucie? Cody?

Bagi gadis itu, semua ini masih tak jelas. Cody memberikan bahan eksperimennya pada Billy. Lalu ia memberi tahu Lucie tuk menemaninya. Namun.. Mengapa lelaki itu sama sekali tak menghubunginya? Setidaknya, sebagai partner kerja Cody harus terlebih dulu menghubungi Lalak, bukan? “But, why he didn’t-” protes Lalak menuntut kejelasan.

“Morning kids. Today we should clear up the experiment last week. Put all of your materials on the table and..” Ucapan Madam Pomfrey-guru kimia mereka-mendadak mengheningkan kelas. Menghentikan pertanyaan Lalak dan membuat seluruh perhatian setiap orang yang berada di kelas itu tertuju pada seorang guru bulat di depan kelas. Tak terkecuali Lucie dan Billy.. dua manusia yang masih berdiri hingga mengundang tatapan nanar dari wanita paling berpengalaman dalam ruangan itu. “…Mrs. Charlotte.. Don’t you have Biology class now?”

Sejenak, Lucie melemparkan pandangannya mengarah ke Lalak dan Billy bergantian. Seolah menyampaikan pesan tersirat dari kedua bola matanya. Kikuk, ia menyahut.. “Yeah? Ya ma’am. I just.. wanna to see one of my friend. Good morning ma’am. Take care.”

—SKIP—

“Don’t you go to the auditorium?” Tanya Billy pada gadis di sampingnya seiring melangkah keluarnya kedua pasang kaki mereka dari bangunan utama Galaxy Senior High School. Yang ditanya malah mengernyitkan dahi dengan tetap meneruskan langkah seraya menatap si penanya dengan heran.

“Eh? What for?” Bukan menjawab, malah gadis itu bertanya balik. Fikirannya memang masih tak di sini. Meski tadi Madam Pomfrey telah berkali-kali mendapatinya melamun hingga membuat kelompok kimianya mengalami kesulitan eksperimen-fokus gadis ikal itu masih terisi penuh oleh lelaki yang kini bahkan tak ia ketahui bagaimana kabarnya. Ironi, jelas. Sadar bahwa Billy menghentikan langkah, gadis itupun ikut berhenti seraya menatap kedua bola mata reddish hazelnya kemudian berseru.. “What?”

“God.. C’mon owl, you look so wrong today…” Ucap Billy cepat sembari menepuk-nepukkan telapaknya pada pipi kiri Lalak. Berharap dengan begitu, gadis berkulit coklat manis di sisinya tersadar dimana ia berpijak sekarang. Cepat-cepat Billy menambahkan “..What food did you eat at breakfast this morning?” Tanyanya seraya menyentuh dahi Lalak tuk mengetahui apakah gadis ini kian membaik atau tidak. “..You’re still having fever.”

Diperlakukan seperti itu di hadapan orang-orang yang berlalu-lalang saat pulang, tak urung membuat Lalak sedikit salah tingkah. Mau bagaimanapun Billy adalah seorang lelaki famous yang pernah ia sukai dulu. Ditambah dengan penampilannya yang selalu tampan. Sebagai wanita normal, gugup pasti akan menghampiri kala seorang yang dulu pernah kita sukai kini memperlakukan kita sedemikian manisnya.

“Err.. I didn’t eat anything.” Sahut gadis di sisi Billy pelan tepat saat telapak lembut yang baru saja menjalarkan kehangatan sesaat dari kening Lalak terenggangkan.

“God.” Ujar Billy lirih menampakkan air muka nanarnya. Ia benar-benar tak percaya dengan makhluk yang berdiri di sebelahnya ini. Tahu bahwa tengah sakit, mengapa malah tak makan pagi dan membuat semua seolah makin buruk dari detik ke detik? Tidak. Billy salah. Gadis di sampingnya ini sudah tak sakit. Tapi ada sesuatu yang masih belum terobati. Itu apa? itu adalah hatinya. Hati gadis nusantara ini belum juga sembuh mengikuti tubuhnya. Ada yang kurang. Ada yang hilang. Dan Billy sangat mengerti hal kasat mata itu.

“Where are we going?” Tanya Lalak tak mengerti sesaat setelah jemari mungilnya digamit Billy hingga memaksanya tuk mengikuti jalannya. Di setiap langkah yang Lalak tempuh, ia bisa merasa jaraknya dengan bangunan besar beratap setengah bola sebagai auditoriumnya kian mendekat. Namun, yang lebih dapat ia rasakan ialah pandangan orang-orang di sekitar.. Yang melemparkan tatapan nanar dan tak percaya mengetahui gadis aneh seperti Lalak bisa menjadi sangat dekat dengan seorang Billy sekarang.

“Rehearsal.” Jawab Billy singkat tanpa menoleh dengan makin cepatnya langkah yang ia cipta seolah tengah diburu waktu. Tepat saat itu, gadis bermanik hitam yang masih terbimbing jalannya oleh Billy mendapati jam tangannya menunjukkan pukul 12.45. Detik itu juga, langkah yang sebelumnya gontai itu berubah tegap dan mantap hingga ia menyejajarkan posisi dengan pemuda di hadapannya. Sial, ia sungguh terlambat.

—SKIP—

“Are you the one who is Nabila?” Seru seorang wanita brunette ta di atas panggung tepat saat Lalak membuka pintu auditorium. Menyebabkan seluruh perhatian manusia dalam ruangan itu yang sebelumnya terfokus pada seorang langsing di atas panggung teralihkan pada gadis yang baru saja membuka pintu. Gadis itu hanya mengangguk mengiyakan seraya mengatur nafasnya yang masih memburu. “What time is it, do you think? You realized? You’re late. You are late for this rehearsal. Very late.” Ucap wanita itu tajam dengan tatapan menusuk pada satu-satunya gadis asia yang kini tengah berjalan kikuk mendekati panggung.

Nampak jelas bahwa guru itu marah. Gelagatnya menunjukkan ke-tidak-senangan terhadap apa yang ada di hadapannya. Andai saja ia datang lebih awal.. “I’m sorry, I-” sahutnya terbata merespon wanita yang sebelumnya tak pernah ia lihat tersebut.

“Enough. Get in stage. I wanna know how good you are in acting.” Potong wanita itu lagi cepat seraya mengibaskan tangannya sebagai isyarat bagi Lalak untuk bergegas ke atas panggung. Setelah menaiki beberapa anak tangga, sampailah ia di lantai yang sama dengan wanita lincah itu. Kini beliau tengah berkutat pada helaian kertas bertuliskan daftar nama yang ia pegang. Tepat saat itu, kedua bola matanya tertumbuk pada seorang pria setengah baya yang duduk di sudut panggung. Pria itu terkesan santai. Tak mau ambil pusing dengan keterlambatan murid dramanya. Beliau malah melemparkan senyum pada Lalak hingga refleks membuat gadis itu nyaman dengan situasi tegang ini. Wanita itupun bersuara lagi.. “So your role is.. Cinderella?!” Ucapnya setengah berteriak tak percaya.

Lalakpun menjawab “Yeah” dengan anggukan mantap. Dari tempatnya berpijak, ia menafsir bahwa guru di hadapannya ini ialah seorang senior dengan tingkat keluwesan dan keyakinan tinggi pada setiap hal yang ia lakukan. Ditambah dengan air muka tegasnya, membuat Lalak otomatis berfikir bahwa ia harus sungguh serius melakukan tugasnya di hadapan guru ini.

“Oh god. Mr. Amri, aren’t you wrong to choose someone who deserving to get the main role?” Tanya wanita itu lagi mencoba meyakinkan diri pada sosok yang terduduk rileks di sudut panggung. Yang dimintai penjelasan hanya tersenyum menanggapi seraya menggeleng dan berucap ‘No’ tanpa suara sedikitpun. “I just can’t believe it. Main role and having no discipline?” Sindirnya menusuk dengan kembali berkutat pada secarik kertas di hadapannya. Sekejap suasana auditorium menjadi sangat hening dimana sebelumnya suara tuts-tuts piano masih terdengar sahut-menyahut. Lalu gadis nusantara itupun kian kiut menyadari bahwa ia memang bersalah. Sungguh, kini gadis itu hanya ingin pergi dari ruangan ini dan kembali esok pagi tanpa harus bertemu dengan guru killer ini lagi.

Sadar akan ketegangan yang terjadi, Mr. Amripun mencoba mencairkan ketegangan yang ada.. “Have you already got the script?”

“No I haven’t.” Jawabnya dengan gelengan kepala yang mengundang tatapan-yang kian-nanar dari wanita di hadapannya.

“Cody haven’t given it to you?” Tanya Mr. Amri tenang yang kembali dijawab Lalak dengan gelengan kepasrahannya.

“Oh.. Mr, last year was a really great drama with Billy involved it. I truly remembered that great moments til this sec. But now? All of main characters were just like didn’t care with this rehearsal. I really prefer for Kylie who roles as Cinderella.” Terang wanita itu lagi panjang-lebar pada jaraknya yang hanya tinggal dua langkah dengan guru beraut muka ketimuran di sudut panggung. Sebuah penjelasan yang membuat Lalak tersadar akan sesuatu. Sesuatu yang patutnya ia sadari sedari dulu.

“You just haven’t found an extraordinary thing about her, Mrs.Blair.” Ujar guru drama Galaxy SHS itu lirih nyaris tak terdengar bahkan oleh Lalak sekalipun. Namun, Mr. Amri memberikan penekanan lebih pada akhir kalimatnya hingga gadis yang berdiri di sudut sebrang panggung itupun dapat mengetahui nama guru yang sedari tadi mempersulitnya.

Hening sesaat. Sampai pada akhirnya Mrs. Blair-pun bersuara.. “An actress should be attractive. Not waiting role came to her, but chasing up every chance eventough she didn’t have it before,” masih dengan ketajaman dalam ritme suaranya dan hujaman pada pandangan matanya. Sebuah percakapan monolog dengan pesan tersirat yang jelas Lalak rasa ditujukan untuknya. Hebat, di hari pertamanya masuk setelah 3 hari alpha, ia langsung terjebak dengan pilihan dan kewajibannya sendiri. Mendadak, ia rindu tempat tidur dan BB-nya yang masih rusak dan lelaki pirang itu… Apa yang kira-kira lelaki itu lakukan sekarang? Apa lelaki itu baik-baik saja? Apa kemarin lelaki itu mendapati perlakuan yang sama seperti yang ia terima kini?

“Now,  show me you are the cinderella..” Ujar Mrs. Blair dengan tatapan meremehkannya. Tepat saat ia menjetikkan jarinya, suara piano mulai mengalun lembut dan hal yang paling Lalak cemaskan pun mucul… Menari. Detik itu juga Lalak harap kini ia berada di taman belakang sekolah, mengiktui ekskul jurnalis dan memotret bersama Billy.

What a day!

—SKIP—

“Owl!” Teriak Billy dari gerbang sekolah. Yang dipanggil menghentikan langkah dan menolehkan kepalanya. Baru saja ia akan membelokkan langkah ke persimpangan jalan kalau saja pemuda yang kini bergegas menuju dirinya tidak menyerukan julukannya.

“Hey, Billy.” Sapa Lalak mencoba ramah. Sesimpul senyum ia kembangkan dengan susah-payah. Berpura-pura melakukan apapun memang sesuatu yang tak terlalu dikuasainya. Ia lelah. Betapa tidak? Selama satu jam Mrs. Blair mengajarkan-oh bukan-mengetes Lalak ulang dengan gerakan waltz yang bahkan baru ia ketahui tadi siang. Sekarang jam 2:08 p.m. dan ia benar-benar penat dengan hari ini.

Ketika posisi mereka sejajar, kedua remaja itu kembali meneruskan langkah dengan ekspresi berbeda pada raut wajah masing-masing. Lalak dengan keburukan moodnya dan Billy dengan keheranan akan apa yang telah terjadi hingga membuat gadis yang disayanginya tidak nampak begitu baik sekarang. “You look not good. Is it something bothering you?” Tanyanya lembut seraya mengusap pundak Lalak pelan.

Gadis itu menoleh. Menghembuskan nafas besar lalu berkata pelan.. “Err.. Yeah. Drama and the stuffs. I just.. I’m just still can not accept what Mrs. Blair said to me.”

“Mrs. Blair?” Ulang Billy mencoba tuk meyakinkan diri apa ia tak salah dengar.

Gadis di sampingnya mengangguk. “You know, it’s my first time to role main character. Today, it’s my first day present to school. And suddenly, she just gave me many pressures that i could not handle. She just-.. Argh, Billy.. Tell me. Should I just give this role to Kylie?” Ungkap Lalak panjang-lebar menumpahkan kekesalannya. Tepat saat kalimatnya berakhir, ia tolehkan kepala menghadap Billy dan menangkap ke-tidak-rela-an pada raut wajah pemuda di sampingnya. Benar saja. Mendengar nama Mrs. Blair disebut saja langsung membuat kenangan manisnya dulu terngiang kembali dalam fikirannya.

Kenangannya bersama seorang yang telah mati-matian ia coba tuk lupakan. Tapi ia salah. Mungkin seorang itu tak pernah lagi hadir di hidupnya, namun segala kenangan yang sudah terjadi dan terbingkai rapi dalam hati tak akan pernah bisa terlupa.

Sadar Lalak memergokinya melamun, Billy buru-buru berseru.. “Lak, what’s going on with you? This is not you. I didn’t get Lalak’s yesterday in today.” Dengan  kekecewaan yang sengaja ia tunjukkan tuk menyemangati gadis di sampingnya. Lalak mengabaikannya. Gadis itu benar-benar nampak tak puas dan putus asa dengan kondisi hari ini. Tepat saat halte tinggal beberapa langkah saja Billy hentikan langkah mereka dengan menyentuh erat kedua bahu Lalak dan mengunci kedua manik hitam Lalak ke dalam bola mata hazel apelnya, seraya menambahkan.. “You can. You have talent. You will be a very classy and clever Cinderella in it. Trust me.” Ucapnya dengan sekilat keyakinan dalam sorot matanya.

Lalak bergeming. Gadis itu tertegun. Mengapa pemuda di hadapannya itu tak henti-henti mendukungnya? Mengapa pemuda ini selalu memikirkannya? Mengapa pemuda ini selalu ada tuk menghibur dan menenangkannya? “How can i trust you if you don’t trust to yourself first?” Bantah Lalak tegas merespon semua perlakuan manis Billy tadi. Memang, Billy selalu ada di sampingnya. Namun bagaimana ia bisa memercayai Billy kalau saja pemuda itu tidak bisa percaya pada dirinya sendiri?

“What do you mean?” Tanya Billy tak mengerti. Oke, pemuda itu sungguh tak mengerti dengan apa yang Lalak katakan. Jelas-jelas ia selalu yakin dan percaya pada dirinya sendiri, lalu mengapa..

“Billy, I’m your friend. And how stupid I am to realize this small things.” Ujar Lalak menepis sentuhan hangat telapak Billy di pundaknya dengan raut kekecewaan yang ia tujukan pada dirinya sendiri. “You are an actor. You grew up in entertainment family. Acting was your passion. And after all things you have done, why you just threw chance and do something else who are not ‘you’?” Timpal gadis itu lagi panjang-lebar hingga membuat pemuda di hadapannya terbungkam.

Sejenak, mereka hanya bertukar pandang. Lalak dengan sorot mata penuntutan dan Billy dengan gurat keterkejutan. Hingga akhirnya, pemuda itu bersuara.. “I didn’t-”

Belum sempat Billy menyelesaikan kalimatnya, gadis di depannya memotong cepat.. “Why are you following journalist extracurricullar and leaving drama just like you never in it? I remembered clearly that you are the one who was Snow White’s William last year. And that was a really great performance, Billy. I will never forget the ending which can make us cried and glad in same time.”

Ucapan Lalak sarat kebenaran. Billy tak bisa menyangkal bahwa ia memang keluar dari pelajaran drama dengan ketidak-relaan yang masih meliputi hatinya hingga kini. Pemuda itu sadar betul memiliki bakat di bidang akting. Namun yang terjadi.. “I have told you. I do interest at photography and–”

“And avoiding something you really want it? I just can’t get what are you thinking, Billy.” Lagi-lagi Billy terdiam. Ia sungguh mengerti alasannya mengapa dengan mendadak ia mengambil ekstrakurikuler jurnalistik dan keluar dari drama akhir tahun. Yang sebenarnya terjadi.. Yang menjadi jawaban mengapa ia berlari ke bidang fotografi.. ialah pemuda itu masih tak rela dan tak siap melihat seorang di sampingnya akan bersanding dengan bahagianya di satu panggung drama dengan peran yang harusnya ia miliki.

Lalak masih menghujamkan pandangan penuh tanya padanya. Apa ini saat yang baik untuk mengakui hal ini? Apa ini akan membuat suatu perubahan dalam hubungannya dengan gadis di hadapannya? Tanpa sadar, pertanyaan demi pertanyaan terus berkecamuk dalam benak pemuda itu hingga sekitar tiga-puluh detik berlalu dan dengan hati-hati, iapun bersuara.. “The truth one is.. I’m currently avoiding–”

“Billy?” Terdengar suara seseorang dari belakang. Kalimat Billy mendadak terhenti dan perhatian Lalakpun terbagi. Di detik yang sama, mereka tolehkan kepala ke belakang lalu mendapati seorang perempuan muda cantik setinggi Lalak dengan rambut coklat lurus terjatuh lemas ke arah samping kiri berdiri dengan tatapan tak percaya pada mereka. Oh bukan, lebih tepatnya tatapan tak percaya pada sosok yang berada di samping Lalak.

Siapa dia? Sejenak keheningan menyelimuti suasana mereka. Sekitar setengah menit gadis itu terkagum dengan pesona perempuan di hadapannya sembari berharap ada yang mau menjelaskan tentang sesuatu yang terjadi di sini. Namun kiranya, hal itu harus tertundakan saat ia mendapati raut keterkejutan bercampur keheranan yang sama pada wajah Billy.

“Hailee?”

—SKIP—

It’s already 3:00 p.m. dan halte di kawasan Edinburgh street terhampiri oleh bus hitam yang selalu jadi kendaraan umum bagi pemukin amerika. Dari bus tersebut, turunlah seorang gadis asia yang kini berjalan gontai menyusuri trotoar sepi menuju rumahnya. Gadis itu nampak letih. Fikirnya, tak ada sore yang lebih buruk dari hari ini. Karena kesialan seolah tanpa lelah mendera dirinya. Dimulai dari kejadian hari kemarin yang berlanjut pada pagi ini dimana lelaki pirang itu tak hadir, lalu drama yang membuatnya nyaris gila. Oke, terlalu berlebihan mungkin. Namun hal terakhir yang tak bisa dilupakannya..

Hey. I’m Hailee Steinfeld.

Dan satu kalimat perkenalan itu terus-menerus terngiang dalam benaknya. Hailee-Hailee-Hailee. Seorang wanita dengan kesempurnaan tanpa cela yang tiga puluh menit yang lalu baru saja berdiri di belakangnya. Seorang yang berhasil membuat Billy mendadak terbeku selama tiga-puluh detik karena terlampau terkesimanya. Seorang artis muda yang kini tengah naik daun dalam industri entertainment. Seorang wanita normal yang dulu pernah mengisi hati sesosok Billy Unger. Hmm, apa ada yang ia lewatkan?

Entah mengapa mendadak gadis itu menggalau. Perasaan campur-aduk berkecamuk dalam hatinya. Kecewa, lelah, tak percaya dan.. Hilang.

Mantan terindah bisa saja kembali menempati hati kita yang masih kosong, bukan?

Tidak, Lalak bukannya memendam perasaan pada Billy. Sekalipun itu pernah, kini rasa itu tandas tak berbekas, tergantikan oleh kesetiaan kuatnya pada seorang pirang yang masih ia gelisahkan hingga kini. Satu hal yang gadis itu khawatirkan, ialah Billy akan melupakannya, meninggalkannya dan kembali pada mantan terindah yang kiranya akan balik mengisi lembar-lembar hidupnya.

Satu kenyataan pahit yang akan ia terima, ialah.. Cepat atau lambat, ia akan kehilangan sosok pemuda yang sebelumnya selalu ada di sampingnya dalam kondisi apapun.

Tapi, bukannya sahabat yang baik selalu mendoakan segala yang terbaik untuk kebahagiaan kawan tersayangnya? Sekalipun terbesit rasa tak ingin dan tak rela, mau tidak mau kita harus menerima kenyataan yang ada. Biarkan ia pergi, kalau tempat ia kan menginjakkan kaki nyatanya jauh lebih baik daripada di sini.

Saat rumahnya tinggal beberapa langkah lagi dan gadis itu masih merenungi hari, tiba-tiba nafasnya tertahan. Ia membeku. Tak berkutik saat ada van putih polos berhenti tepat di sisi kirinya dengan seorang pria brunette yang keluar dari pintu kemudi.

DEG

Demi Tuhan, kini Lalak sungguh bisa merasakan jantungnya yang kian mempercepat detakan merespon seseorang dengan raut wajah garang berbalut jas hitam berjalan mendekatinya. Detik-detik pria itu melangkahkan kaki bagai slow-motion yang makin mencekam hingga suara beratnya terdengar.. “Are you Nabila?”

“Yes..” Jawab gadis itu tertahan. Mau tak mau, Lalak tak bisa lari dari keadaan ini. Kawasan rumahnya tergolong sepi dan apabila ia berlari, kiranya ia pasti kan tertangkap mengingat tubuhnya masih dalam tahap penyembuhan.

Pria itu tersenyum samar. Kemudian ia berkata tenang.. “So blessed that i found you..” Seraya mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya yang makin membuat Lalak tersentak.

—SKIP—

“Hel-”

“Billy.”

“Co?”

“Yeah, it’s me. So, how’s she?”

“She? You mean-?”

“Yea, her.”

“Ooh, she was doing well. But, drama and someone who calls me now ruin her day.”

“Me?”

“You’re absent with no reason for her. She’s just.. out of thinking.”

“Where are you now?”

“I..I’m with.. Hailee.”

“Hailee? Hailee Steinfeld”

“Yes.”

“What a surprise.. You’re guys currently making up?”

“Idon’t think so.”

“Hey, Billy? Why is your voice lower than before?”

“Cody, stop making fun of me. Just visit her and teach her about the drama.”

“Haha. You will always know what I’m thinking, Billy..”

—SKIP—

TOKTOKTOK

Sesosok lelaki pirang telah berdiri di ambang pintu rumah Lalak selama sekitar sepuluh menit. Ia terus-terusan mengetok pintu rumah seraya menekan bel rumah tanpa lelah. Mungkin ini sudah kali ke-dua-puluh-nya ia menggedor pintu. Bukannya lelah dan kecewa karena si empunya rumah tak kunjung menyembul di balik pintu, malah yang muncul ialah rasa kecemasan dan kegelisahan yang mendadak menyergap ditambah dengan terpakirnya van putih di depan rumah itu. Van sejenis seperti van kemarin. Van mimpi buruk itu..

Hilang kesabaran, akhirnya Cody-pun berseru..  “Lak? Are you there?”  sembari mengeluarkan kekuatan yang lebih keras dalam ketukan pintunya. Tak bisa menunggu lebih lama, lelaki itu buru-buru bergegas berlari memutari rumah. Ia perhatikan semua jendela, dinding dan pintu yang  ada di rumah mungil itu. Berharap menemukan celah untuk masuk. Tapi, nihil. Sampai ia berdiri di pintu belakang rumah, kayu besar itupun terkunci.

 

De javu. Bukannya mendapati solusi atas masalahnya, Cody malah merasa malam kemarin terulang kembali. Malam paling buruk baginya dan seorang yang kini tengah ia cari. Tidak, apa ia terlambat lagi? Bukannya Stevan telah dipecat oleh Matt? Lalu van itu milik siapa? Terus-menerus menggedor pintu, membuatnya tersadar bahwa gadis itu memang tak di rumah. Detik itu juga perasaan cemas, hilang, kecewa dan khawatir menyergapnya. Bahkan lebih kuat dari malam kemarin. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan gadis itu, ia sungguh tak bisa memaafkan dirinya sendiri. “Oh Gosh, Lalak, where the heck are you now?” batinnya frustasi.

Tanpa buang waktu, Cody ambil Iphone dari saku celananya dan menekan tuts-tuts tanpa melihat seraya bergegas lari menuju ke pelataran depan. “Mungkin Matt tahu sesuatu” batinnya lagi tepat saat mengangkat telefon genggamnya ke telinga.  Belum sampai nada sambung ketiga terdengar, dari tempatnya berpijak sekarang ia bisa melihat seorang gadis berjalan santai di trotoar sisi rumah itu. Gadis yang ia cari-cari. Hanya dengan menampakkan diri, gadis dengan rambut ikal terurai, berbalutkan blouse putih panjang dan rok midi kuning itu sekejap menyelamatkan hari Cody. Buru-buru lelaki pirang itu berlari ke arahnya dan berseru.. “LAK!” dengan raut kebahagiaan yang tak dapat ia tutupi lagi.

Merasa kenal dengan suara orang yang memanggilnya, gadis itu menoleh skeptis seraya membatin.. “Tidak mungkin ia ada di sini, tapi ini mobil siapa?” sesaat setelah tercenung melihat SUV Lamborghini hitam terpakir di depan trotoar rumahnya. Tepat saat sesosok lelaki yang kini tengah berlari itu hanya tinggal dua langkah darinya.. Ia membeku. Ia tersentak. Tak percaya dengan ini. Belum sempat gadis itu menormalkan dirinya kembali dan menjawab sapaan dari lelaki itu, tubuh mungilnya telah lebih dulu didekap erat oleh seseorang yang tanpa diduganya akan hadir sekarang. Seseorang yang mendadak memberikan sesuatu yang sangat diinginkannya. Ya, seharian ini gadis itu tak merasa nyaman sama sekali. Namun entah mengapa, pelukan tiba-tiba yang dilakukan oleh orang yang ia rindukan ini mendadak menyamankannya.. Menghangatkannya.. Menenangkannya.. Dan membuatnya otomatis berfikir bahwa semua akan baik-baik saja.

“Oh, syal ini lagi.” Batin gadis itu lagi merasakan kelembutan kain pada syal yang lelaki itu kenakan. Syal kenangan itu. Sejenak, semua terasa indah. Dunia seolah berhenti berputar dalam pelukan hangat lelaki pirang ini. Andai ia punya mesin waktu, tanpa berfikir ulang gadis itu akan membekukan momen magis ini dimana kini, di bawah pohon-pohon mapel yang menjulang tinggi, di antara semilir angin musim gugur yang menari-nari, di ruang tempat daun mapel merah jatuh hati-hati.. Ia sungguh dapat merasakan makna kata ‘peluk’ yang sesungguhnya. Hanya dengan dekapan sederhana ini, gadis asia itu merasa sangat nyaman dan menikmati setiap detiknya hingga tanpa sadar, kelopak matanya tertutup karena terlampau larutnya ia dalam suasana ini.

“Cody? What’s—what’s going on?” Terdengar suara Lalak tergagap setelah sekitar tiga puluh detik Cody memeluknya. Cody hanya tersenyum tanpa menjawab. Yang terjadi sekarang, ialah ia sedang menumpahkan kerinduan yang amat-sangat pada seorang dalam dekapannya. Bertemu kembali dengannya. Menghirup kembali aroma wangi dari ribuan helai rambut ikal seorang dalam pelukannya. Membelai lembut rambut hitam legamnya. Menyentuhnya. Sederhananya, Cody hanya ingin benar-benar menikmati keadaan ini.

Setelah beberapa detik berlalu, lelaki pirang itu merenggakan pelukannya, meremas kedua pundak gadis itu, menguncinya dalam sorot matanya lalu bertanya.. “Are you okay? Is Stevan bothering you anymore? How can that van be there again? Gosh.. You don’t know how worry I am knowing that van has been there again.”

Serentetan pertanyaan Cody meronakan pipi pucatnya. Membungkamkan dirinya dengan pesona dan perhatian yang masih Cody tujukan untuknya. Hari ini, Cody terlihat stylish seperti biasa. Dengan kemeja putih garis-garis berlapis jaket jins favoritnya dilengkapi dengan syal biru pemberian Lalak, Cody masih terlihat tampan. Oh tidak, Cody memang rupawan. Namun manik samudranya tak bisa berbohong. Binar redup Lalak dapati dalam kedua bola matanya. Dan raut wajah lelaki itu tak nampak baik. Seperti ada sesuatu yang masih ia khawatirkan dalam setiap gurat wajahnya.

Sadar termenung cukup lama, Lalakpun mengangkat katupan bibirnya dan.. Sebelum ia sempat menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang Cody layangkan, seseorang di belakangnya telah lebih dulu mengawali percakapannya. “Honestly, that was my van, son.”

—SKIP—

Dephine Mama’s Cafe. Sebuah cafe kecil di sudut Rowley Street yang terkenal dengan kopi Brazilnya kini nampak sepi pengunjung. Memang bukan waktu yang tepat untuk sekedar menghabiskan waktu dengan menikmati kopi, namun karena alasan itulah kedua pemuda-pemudi terkenal ini memilih tuk berbincang sekilas di salah satu meja tersudut di cafe itu.

“Lemme guess, is that Cody?” Tanya seorang perempuan muda berambut hitam di hadapan Billy saat pemuda itu tengah memutuskan sambungan telefon. Billy tersenyum samar. Mungkin suara perempuan itu terdengar ramah, tapi Billy sungguh tahu ini hanya sandiwara. Dan Billy benar-benar tak berusaha mencairkan kekakuannya sedikitpun pada perempuan muda di hadapannya ini-bahkan sejak mata mereka beradu untuk yang kedua kali.

“Yes.” Jawabnya dingin. Sedingin satu cangkir espresso yang sama sekali tak disentuhnya sejak sepuluh menit yang lalu.

“Does he make party again?” Tanya perempuan berkulit putih itu lagi dengan senyuman lebar yang nampak kaku.

Seperti yang sudah Billy tekadkan, ia tak akan mencoba tuk bersikap baik dengan perempuan di hadapannya. Cepat-cepat Billy menyahut pendek dengan tetap mengutak-atik BlackBerry-nya.. “No.”

Perempuan muda itu bergeming. Senyuman masih tersungging pada bibirnya. Seperti tak kehabisan topik perbincangan, ia kembali bertanya.. “Is he doing fine?”

Butuh beberapa detik bagi Billy untuk menjawab pertanyaan itu hingga akhirnya ia hujamkan pandangan tajam pada perempuan cantik di hadapannya seraya berkata.. “Can you just.. tell me what’s the purpose of this, Hailee?” Dengan suara yang sarat kebencian dan kekesalan.

Sebuah kalimat yang jelas menampar hati seorang Hailee. Belum pernah ada seseorang yang dengan terang-terangan membencinya dengan cara seperti ini. Perlahan-lahan, cekungan luntur dari wajah manisnya dan tergantikan oleh keseriusan yang terpancar jelas dalam maniknya. Kini kedua bola mata hazel itu berbinar penuh harap. “Billy.. Can you just forgive me?” Tanyanya tertahan seraya meremas telapak tangan Billy lembut. Yang ditanya bergeming. Pemuda itu masih bersikeras dengan kemauannya tuk tetap menjaga kekakuan suasana ini.

Perih. Semua usahanya berbuah perih. Ia sangat mengerti bahwa dulu merupakan kesalahannya hingga Billy meninggalkannya. Namun, salahkah ia merajut kembali benang yang sejak lama kusut itu? Salahkah langkah baiknya ini? Demi Tuhan, perempuan bermanik hazel itu sungguh tak mampu lagi menahan air matanya. Ini kali pertama ia diperlakukan sedimikian dinginnya. Sadar tak direspon, perempuan itu kembali bersuara, parau.. “I’m sorry. I’m really regretting all things I’ve done to you. I just wanna us to be made up. I–”

“I’m sorry. I got something to do right now. Thanks for the coffee, Hailee.” Tukas Billy cepat memotong kalimat Hailee seraya menarik tangannya dari genggaman hangat jemari perempuan itu. Buru-buru ia ambil tasnya yang tergeletak di atas lantai cafe dan beranjak berdiri.

Tepat saat melangkahkan kaki melewati Hailey, ia terhenti. Bukan karena ia berubah fikiran, melainkan seseorang yang baru saja akan ia tinggalkan memeluknya dari belakang. Mencengkram jaketnya erat, menangis dan bergetar hebat.

“Don’t leave me, Billy. Don’t. I’m still love you. I’m really freakin falling in love with you. You never leave my mind, even there is a million thing to worry about. Please. Don’t.”

Dan Billypun luruh. Ia biarkan seorang Hailee Steinfeld.. Ia biarkan seorang mantan terindahnya menangis dalam dekapannya untuk yang kedua kali.

—SKIP—

“So, he’s your aunt’s fiance?” Tanya Cody lagi saat Lalak dan dirinya masuk ke dalam SUV hitam yang terparkir di depan trotoar rumah gadis asia itu. Pertanyaan yang tak urung membuat Lalak tergelak.

Ternyata sosok empunya van itu ialah tunangan tantenya yang tengah mencari rumah di daerah sekitar rumah Lalak. Beliau masih setia dengan van putihnya dan hari ini beliau bermaksud tuk mengunjungi Lalak agar mendapat gambaran sedikit bagaimana tinggal di kawasan Edinburgh. Jadi, pria itu sama sekali tak punya hubungan dengan orang-orang kelam malam kemarin. “That was really embarrasing.” Timpal Cody lagi menyesali kebodohannya.

“You’re just.. too exagrating, Co.” Komentar Lalak seraya menarik sabuk pengaman melingkari tubuhnya.

“No, it’s not..” Bantah Cody merespon kalimat Lalak. Menyebabkan gadis itu menyorotkan pandangan kedua bola matanya pada sosok di sampingnya tuk mengetahui lanjutan kalimat menggantung lelaki itu. Mata mereka beradu, kemudian dengan penuh arti Cody menambahkan.. “Because, the most thing I worry about is whether I can meet you again tomorrow, or.. not. You know? That was the most horrible feeling I’ve ever had. So, that’s why it’s not exaggerate.”

Seperti yang biasa Cody lakukan, kali ini Lalak kembali terkesima. Tak habis fikir dirinya mengira bahwa sosoknya merupakan seorang penting dalam hidup Cody. Tapi tetap, lelaki adalah lelaki. Mereka punya seribu cara tuk melumpuhkan hati wanita dan Lalak tak mau terlalu jauh larut dalam pesona seorang Cody yang masih belum jelas memiliki perasaan yang sama dengannya atau tidak. Namun untuk saat ini.. Gadis itu benar-benar berharap apa yang Cody katakan tadi adalah sesuatu yang sungguh-sungguh dialaminya.

Sadar membuat gadis di sampingnya speechless, dengan masih menatap lawan bicaranya Cody hidupkan mesin mobilnya. Ia tersenyum penuh kharisma mempersiapkan balasan kalimat dari seorang Lalak. Hingga akhirnya Lalakpun berkata “Where are we going?”

Sebuah pertanyaan yang sudah Cody duga akan terlontarkan oleh seorang Lalak. Kini ia tahu betul bahwa gadis di sampingnya ialah sosok pemalu yang sangat tak bisa menolak perlakuan romantis dari seorang lelaki. Mendadak, muncul banyak ide brilian dalam benaknya menyangkut rencana kejutan-kejutannya tuk kian meyakinkan Lalak seberapa besar ia menyayangi gadis itu.

Cody hadapkan muka ke depan, ia tarik rem mobil ke belakang lalu SUV hitam tersebut mulai berjalan merayapi aspal membelah angin dingin November kota Los Angeles. Dengan sesungging senyum misterius, ia menjawab..

“Paradise.”

 

 

~END OF THIS CHAPTER~

16 thoughts on “Cody Love Story – It’s More Than Love (14)

Leave a reply to Ilham Cancel reply